Oleh: Israr Iskandar, pengajar sejarah politik Universitas Andalas
Pimpinan
baru Komisi Pemberantasan Korupsi sudah terpilih. Walau hasil pilihan
DPR ini mengecewakan sebagian kalangan, tapi harapan tinggi tetap
digantungkan ke pundak pimpinan KPK sebagai ujung tombak pemberantasan
korupsi di Indonesia. Sejauh mana efektifitas
lembaga superbodi ini memberantas korupsi yang telah merasuk dan merusak
hampir semua sendi kehidupan negara dan masyarakat kita?
Tugas
pokok KPK memang terkait penindakan, informasi data dan pencegahan
korupsi sekaligus, tapi gerakan antikorupsi harus menjadi tugas dan
perhatian kolektif bangsa. Sebab korupsi di Indonesia saat ini merupakan gejala multidimensi. Bukan lagi sekedar soal distorsi hukum dan politik maupun moral hazard dalam ekonomi, tapi juga menjadi masalah berdimensi sosial dan budaya.
Jika
kebudayaan secara sederhana diartikan sebagai cara hidup yang
berkembang dan dimiliki bersama oleh sekelompok orang dan diwariskan
dari generasi ke generasi, korupsi bukanlah kebudayaan, karena
kebudayaan bertujuan positif. Namun karena terjadi
pembiaran yang sangat lama, gurita korupsi mempengaruhi perkembangan
kontruksi nilai dalam kehidupan negara dan masyarakat. Korupsi bahkan
menjadi cermin disorientasi kebudayaan bangsa, negara dan masyarakat
saat ini.
Lingkungan pemerintahan yang buruk merupakan lahan subur pembudayaan perilaku koruptif. Gejala koruptif itu
antara lain terlihat dari perilaku elit dan pejabat publik minus rasa
tanggungjawab akan fungsi dan tugas pokoknya. Kenyataan ini tak hanya
pengalaman di masa
otoriter, tapi juga demokrasi. Padahal, seperti pernah dikatakan
Mohammad Hatta (1957), demokrasi membutuhkan tanggung jawab kalangan
pemimpin atas rakyat yang dipimpinnya.
Kondisi diperburuk oleh perilaku elit minus empati, sensitifitas dan budaya malu. Di
tengah kemiskinan rakyat, elit tak malu hidup bermewah-mewahan,
sekalipun dari hasil korupsi. Absennya budaya malu juga terlihat dari
keengganan pejabat publik untuk meminta maaf dan mundur
dari jabatannya, sekalipun sudah terbukti gagal atau melanggar kode etik jabatan. Selanjutnya, dominannya
mentalitas dilayani ketimbang melayani dari sebagian aparat dan pejabat
penyelenggara negara juga menjadi pantulan kebiasaan koruptif.
Anomali
Salah
satu kebiasaan yang memicu korupsi adalah merebaknya kebiasaan
konsumtif di masyarakat dan pemerintahan kita. Perkembangan lingkungan
sosial yang makin kapitalistik telah memupus keluhuran nilai-nilai
asketisme seperti diajarkan agama-agama. Celakanya, pemimpin dan kelas
menengah yang mestinya menjadi “soko guru” bagi kebangkitan bangsa dan
masyarakat
justru cenderung makin hedonis dan materialistik.
Di
pihak lain, sebagian masyarakat juga terkesan permisif terhadap
korupsi. Tokoh terpidana korupsi, dalam batas tertentu, mendapat
sokongan dari lingkungan sosialnya. Selain itu, kebiasaan ewuh pakewuh (rasa sungkan) kepada pemimpin, termasuk yang bersalah, juga menyuburkan korupsi. Celakanya, di ranah
hukum, kebiasaan ewuh pakewuh ini mengejawantah dalam bentuk pemberian hukuman ringan dan bahkan pembebasan bagi pelaku korupsi.
Pelbagai
anomali nilai yang berkembang dalam kehidupan sosial dan pemerintahan
di atas telah menyulitkan bangsa dan negara ini mencarikan fomula tepat
dalam menghapus korupsi, sekalipun menggunakan instrumen-intrumen
demokratis. Bahkan, alih-alih dapat memberangus korupsi, penyelenggaraan
demokrasi dari pusat sampai daerah sekarang ini justru
dianggap telah membiakkan korupsi. Tak heran muncul semacam
“permakluman”, bahwa korupsi adalah keniscayaan demokrasi.
Sebagai
masalah kebudayaan, membasmi korupsi jelas menjadi tugas dan perhatian
kolektif bangsa. Mempercayakan kepada pemerintah dan aktor-aktor
demokrasi (termasuk KPK) saja jelas tak cukup. Apalagi agen-agen
moralitas di pemerintahan seperti Departemen Agama dan Departmen
Pendidikan dan Kebudayaan maupun di luar pemerintahan sendiri juga
tengah mengalami demoralisasi serius
akibat korupsi.
Oleh karena itu, harus senantiasa ditumbuhkan kekuatan sosial di luar lembaga-lembaga formal yang ada. Tugasnya
tak hanya mendesakkan agenda-agenda pemberantasan korupsi, termasuk ke
KPK dan aparat penegak hukum lainnya, tapi juga menyusun agenda-agenda
strategis terkait reorientasi budaya, mengingat korupsi sudah terlanjur
menyatu dalam nadi
kehidupan negara dan masyarakat kita. (Pernah dimuat di Harian KONTAN, 13 Desember 2011).
Posting Komentar