Oleh: Israr Iskandar, pengajar sejarah politik Universitas Andalas
Sebuah abad besar telah lahir, tetapi
ia menemukan generasi yang kerdil (Schiller).
Kuplet
sajak pujangga-filosof Jerman yang pernah dikutip Bung Hatta dalam
sebuah tulisannya di masa perjuangan kemerdekaan Indonesia itu masih
terasa mengena dalam konteks realitas peradaban politik dewasa ini. Zaman
kesempatan besar merealisasikan cita-cita para pahlawan dan pendiri
negara yakni Indonesia lebih maju, sejahtera dan bermartabat seakan
terlewatkan begitu saja.
Indikasinya,
gegap gempita demokrasi sekarang ini terlalu banyak menampilkan
tontonan politik yang tidak bersangkut paut dengan urusan kepentingan rakyat,
negara dan bangsa. Politik transaksional berorientasi semata kue
kekuasaan dan perburuan rente masih terlalu dominan dibandingkan politik
sebagai arena pengabdian dan perjuangan bagi kepentingan rakyat dan
negara dalam arti sesungguhnya.
Politik
dewasa ini bahkan juga bekerja dalam logika kapitalistik. Politik
disajikan seperti produk yang semata mengandalkan pencitraan lewat
iklan. Tak mengherankan, politik tebar pesona absurd merebak dan
menghiasi ruang-ruang publik kita. Harapannya, politik tebar pesona akan
berdampak positif pada elektabilitas aktor-aktor politik dan kuasa
modal tertentu dalam perebutan jabatan-jabatan publik seperti dalam
pilkada dan pemilu legislatif.
Celakanya,
masyarakat sipil yang diharapkan menjadi pengimbang hegemoni kuasa
politik dan modal dalam batas tertentu juga terjebak politik panggung
berorientasi kekuasaan dan bahkan rente. Kampus misalnya tak lagi semata
habitat bagi akademikus menegakkan etos ilmiah, tapi telah pula menjadi
wilayah politik yang kerap mengebiri nilai kejujuran-kebenaran ilmiah,
seperti tercermin dalam politik pemilihan pimpinan kampus hingga
“pemaksaan” pemberian gelar akademis kepada tokoh politik tertentu.
Elit versus negarawan
Kalau
ditelisik lagi, istilah pemimpin itu sendiri akhir-akhir ini memang
cenderung kian terpinggirkan. Kini yang menonjol justru istilah elit.
Sesuai kenyataannya, kalangan elit (seperti pernah dikemukakan Vilpredo
Pareto) sering dianggap kalangan yang mementingkan diri sendiri, bahkan
berjuang melawan mereka yang kurang berbakat dan kurang mampu untuk
mencapai posisi kekuasaan. (Kuper & Kuper, 2000).
Dalam
konotasi seperti itu, golongan elit egois tentu bukanlah pemimpin
teladan dan panutan rakyat. Mereka cenderung hanya berpikir dan
bertindak dalam hubungan dengan kepentingan diri dan kelompok pemimpin
itu sendiri. Mereka pandai mengatasnamakan kepentingan rakyat dan
negara, bahkan Pancasila dan agama, tapi semuanya hanyalah bagian
“asesoris” atau alat meraih popularitas politik belaka.
Ironisnya, di Indonesia saat ini involusi kepemimpinan politik terjadi di hampir semua jajaran pemimpin formal dari pusat hingga
daerah. Kalaupun negeri ini masih memiliki golongan pemimpin baik,
tetapi mereka tidak menonjol, karena diskursus dan praktik kepemimpinan
politik di pelbagai level terlanjur dihegemoni kuasa politik dan kuasa
modal tertentu.
Ada
indikasi menjelang 2014, negeri ini justru kembali akan mengalami
surplus politikus pragmatis plus oportunis. Mereka pintar memanfaatkan
simpati dan naifitas rakyat, sementara perilaku politiknya justru
bertentangan dan bahkan mengorbankan kepentingan rakyat dan negara,
seperti tercermin dari pelbagai perilaku korupsi yang dilakukan elit
politik di pusat dan daerah.
Elit
pemimpin yang cenderung memanfaatkan naifitas publik ini hanyalah tipe
pemimpin kerdil. Mereka bukan golongan pemimpin yang dibutuhkan untuk
memperbaiki keadaan Indonesia saat ini. Negeri ini butuh pemimpin sejati
yang tak saja kompeten, tapi juga punya kepekaaan dan kepedulian
terhadap orang-orang yang dipimpin serta memiliki integritas pribadi.
Hanya
pemimpin yang punya kompetensi, kepekaan/kepedulian dan integritas
itulah mampu membina tekad bersama, menginspirasi semangat rakyat dan
bangsa untuk bangkit dari keadaan stagnasi. Itulah pemimpin dengan
derajat negarawan, suatu kualitas kepemimpinan yang pernah melekat kuat
pada para pendiri negara di masa lalu.
Harus
ada kesadaran kolektif dan tekad kuat untuk menyiapkan lapisan pemimpin
baru yang berbeda dengan lapisan pemimpin saat ini, di pusat maupun
daerah. Harapannya memang tetap terpulang kepada kalangan muda.
Sekalipun sebagian mereka masih mengecewakan, tapi sebagian lagi masih
bisa diharapkan asal mereka mengubah gaya kepemimpinannya. Hanya dengan
cara itu, mereka kelak tidak akan dicap sebagai generasi kerdil. (Pernah dimuat di Harian KONTAN, 14 November 2011).
Posting Komentar