Mohon Maaf Atas Ketidak Nyamanan Anda Dalam Mengakses Sebagian Link, Karena Masih Dalam Perbaikan
Home » » Involusi Kenegarawanan

Involusi Kenegarawanan

Written By andalas journal of history on Kamis, 01 Maret 2012 | 02.31

Oleh: Israr Iskandar, pengajar sejarah politik Universitas Andalas
 
Sebuah abad besar telah lahir, tetapi
ia menemukan generasi yang kerdil (Schiller).
            
          Kuplet sajak pujangga-filosof Jerman yang pernah dikutip Bung Hatta dalam sebuah tulisannya di masa perjuangan kemerdekaan Indonesia itu masih terasa mengena dalam konteks realitas peradaban politik dewasa ini.  Zaman kesempatan besar merealisasikan cita-cita para pahlawan dan pendiri negara yakni Indonesia lebih maju, sejahtera dan bermartabat seakan terlewatkan begitu saja.
            Indikasinya, gegap gempita demokrasi sekarang ini terlalu banyak menampilkan tontonan politik yang tidak bersangkut paut dengan urusan kepentingan  rakyat, negara dan bangsa. Politik transaksional berorientasi semata kue kekuasaan dan perburuan rente masih terlalu dominan dibandingkan politik sebagai arena pengabdian dan perjuangan bagi kepentingan rakyat dan negara dalam arti sesungguhnya.
            Politik dewasa ini bahkan juga bekerja dalam logika kapitalistik. Politik disajikan seperti produk yang semata mengandalkan pencitraan lewat iklan. Tak mengherankan, politik tebar pesona absurd merebak dan menghiasi ruang-ruang publik kita. Harapannya, politik tebar pesona akan berdampak positif pada elektabilitas aktor-aktor politik dan kuasa modal tertentu dalam perebutan jabatan-jabatan publik seperti dalam pilkada dan pemilu legislatif.
              Celakanya, masyarakat sipil yang diharapkan menjadi pengimbang hegemoni kuasa politik dan modal dalam batas tertentu juga terjebak politik panggung berorientasi kekuasaan dan bahkan rente. Kampus misalnya tak lagi semata habitat bagi akademikus menegakkan etos ilmiah, tapi telah pula menjadi wilayah politik yang kerap mengebiri nilai kejujuran-kebenaran ilmiah, seperti tercermin dalam politik pemilihan pimpinan kampus hingga “pemaksaan” pemberian gelar akademis kepada tokoh politik tertentu. 
          
Elit versus negarawan            
              Kalau ditelisik lagi, istilah pemimpin itu sendiri akhir-akhir ini memang cenderung kian terpinggirkan. Kini yang menonjol justru istilah elit. Sesuai kenyataannya, kalangan elit (seperti pernah dikemukakan Vilpredo Pareto) sering dianggap kalangan yang mementingkan diri sendiri, bahkan berjuang melawan mereka yang kurang berbakat dan kurang mampu untuk mencapai posisi kekuasaan. (Kuper & Kuper, 2000).
            Dalam konotasi seperti itu, golongan elit egois tentu bukanlah pemimpin teladan dan panutan rakyat. Mereka cenderung hanya berpikir dan bertindak dalam hubungan dengan kepentingan diri dan kelompok pemimpin itu sendiri. Mereka pandai mengatasnamakan kepentingan rakyat dan negara, bahkan Pancasila dan agama, tapi semuanya hanyalah bagian “asesoris” atau alat meraih popularitas politik belaka.
              Ironisnya, di Indonesia saat ini involusi kepemimpinan politik terjadi di hampir semua jajaran pemimpin formal dari pusat  hingga daerah. Kalaupun negeri ini masih memiliki golongan pemimpin baik, tetapi mereka tidak menonjol, karena diskursus dan praktik kepemimpinan politik di pelbagai level terlanjur dihegemoni kuasa politik dan kuasa modal tertentu.
             Ada indikasi menjelang 2014, negeri ini justru kembali akan mengalami surplus politikus pragmatis plus oportunis. Mereka pintar memanfaatkan simpati dan naifitas rakyat, sementara perilaku politiknya justru bertentangan dan bahkan mengorbankan kepentingan rakyat dan negara, seperti tercermin dari pelbagai perilaku korupsi yang dilakukan elit politik di pusat dan daerah.
           Elit pemimpin yang cenderung memanfaatkan naifitas publik ini hanyalah tipe pemimpin kerdil. Mereka bukan golongan pemimpin yang dibutuhkan untuk memperbaiki keadaan Indonesia saat ini. Negeri ini butuh pemimpin sejati yang tak saja kompeten, tapi juga punya kepekaaan dan kepedulian terhadap orang-orang yang dipimpin serta memiliki integritas pribadi.
         Hanya pemimpin yang punya kompetensi, kepekaan/kepedulian dan integritas itulah mampu membina tekad bersama, menginspirasi semangat rakyat dan bangsa untuk bangkit dari keadaan stagnasi. Itulah pemimpin dengan derajat negarawan, suatu kualitas kepemimpinan yang pernah melekat kuat pada para pendiri negara di masa lalu.
             Harus ada kesadaran kolektif dan tekad kuat untuk menyiapkan lapisan pemimpin baru yang berbeda dengan lapisan pemimpin saat ini, di pusat maupun daerah. Harapannya memang tetap terpulang kepada kalangan muda. Sekalipun sebagian mereka masih mengecewakan, tapi sebagian lagi masih bisa diharapkan asal mereka mengubah gaya kepemimpinannya. Hanya dengan cara itu, mereka kelak tidak akan dicap sebagai generasi kerdil.  (Pernah dimuat di Harian KONTAN, 14 November 2011).
Share this article :

Posting Komentar