PADANG, AJOH, Hidup dijalanan bukanlah suatu hal yang diinginkan,
memenuhi semua kebutuhan apalagi sampai tumbuh besar dijalanan, termasuk Desi
Puspita Sari, salah satu anak jalanan di lampu merah Jl. Katib Sulaiman,
berumur 8 tahun, duduk di kelas 1 SD ( Siswa Dasar), anak ke 5 dari 9 orang
bersaudara. Desi menceritakan ia mulai mengamen pada jam 10.00 Wib – 22.00 Wib,
pada saat dijumpai hari Rabu, 2 Februari 2012 pukul 14.00 wib. Desi mengaku ia
mengamen disuruh ibunya untuk mendapatkan uang, hal itu disebabkan karena
faktor ekonomi, uang yang ditargetkan oleh ibunya adalah minimal Rp50.000 –
100.000/hari, jika dia kurang mendapatkan uang maka ia akan dimarah-marahi oleh
ibunya, tetapi hanya sebatas itu saja, ia mengaku ibunya tidak pernah memukul
atau bermain kasar padanya, jika ia mendapatkan minimal Rp50.000 ia hanya
mendapatkan jatah Rp3.000 saja dan jika ia mendapatkan minimal Rp100.000 ia
mendapatkan Rp5.000 saja.
Pada saat
ditanya kapan ia punya waktu belajar, dengan polosnya ia menjawab tidak ada,
bahkan pada saat dijumpai hari itu ia bolos sekolah untuk mencari uang, ia
belum mengetahui apa cita-citanya nantinya dan untuk apa dia belajar. Mirisnya
ia tidak tahu dimana keberadaan ayahnya, karena selama ini ia hanya tinggal
dengan ibunya dan kedelapan saudaranya, Desi tinggal di Padang Sarai, Kayu
Kalek, Padang. Di perumahan yang disewakan.
Lain lagi halnya dengan bapak Doni Saputra, berumur
49 tahun yang berasal dari Jambi, ia juga pengemis di lampu merah jl. Katib
Sulaiman, tetapi bapak Doni mengalami cacat fisik yaitu tangan kirinya
diamputasi karena kecelakaan mobil. Bapak Doni mulai mengemis sejak akhir tahun
2009 yang disebabkan oleh kecelakaan yang menimbanya, dulunya bapak Doni adalah
seorang sopir truk Padang- Jambi, akibat kecelakaan tangannya kirinya terpaksa
diamputasi, ia sudah berusaha mencari pekerjaan yang lain tetapi tidak juga
dapat-dapat karena keterbatasan fisiknya, akhirnya ia memutuskan untuk meminta-minta
di jalanan lampu merah, tempat mangkalnya pak Doni tidak menetap, kadang-kadang
ia juga ke luar kota Padang seperti ke Batu sangkar, Bukit Tinggi dan Solok,
dengan tempat tinggal yang tidak menetap pula, kadang-kadang ia menumpang
nginap ditempat temannya dan kadang-kadang di mushalla.
Pak Doni tidak sendirian, ia mempunyai seorang istri
dan 7 orang anaknya yang di Jambi, dengan penghasilan istrinya yang hanya
sebagai buruh cuci saja tidak mungkin bisa menghidupi keluarganya, maka pak
Doni membantu sedikit-sedikit dengan mengirim uang perbulan ke keluarganya di
Jambi, meskipun hanya sebagai pengemis namun pak Doni menginginkan anakna bisa
sekolah yang tinggi, hal itu ia buktikan dengan adanya yang melanjutkan sekolah
sampai perguruan tinggi di Bukit Tinggi, pak Doni mengaku sebenarnya ia tidak
menginginkan pekerjaan ini, tetapi keadaan yang membuatnya terpaksa, jika saja
ada bantuan yang diberikan pemerintah padanya dan pengemis-pengemis yang
lainnya untuk membuka usaha atau yang lainnya maka pengemis dikota Padang ini
akan berkurang, tetapi hal tersebut tidak ada.
Pada saat saya menanyakan bagaimana dengan anak dan
istrinya tentang pekerjaannya ini, ia mengaku istrinya belum tahu tetapi
sebagian anak-anaknya ada yang sudah mengetahui pekerjaannya ini, lagian jika
suatu hari semuanya tahu mungkin itu sudah takdirnya mereka tahu.
Mengemis dilampu merah ini tidak pula semudah
dibayangkan, ia harus bersaing dengan pengemis-pengemis lainnya yang jumlah nya
juga tidak sedikit, pengusiran dari polisi dan dinas sosial. Selama ia mengemis
dilampu merah itu sudah > 5 kali tertangkap oleh satpol PP, kemudian
dibebaskan lagi, ditangkap itu palingan hanya ditahan 1 hari, tidak akan pernah
merasakan kapok atau takut ditangkap oleh polisi dan dinas sosial yang melakukan
pembersihan jalan, hal itu dikarenakan kebutuhan hidup yang harus dilengkapi,
tutur bapak Doni.(nela)
Posting Komentar