Oleh: Israr Iskandar, menulis buku tentang sejarah modal asing.
Keberadaan
investasi asing di Indonesia, khususnya dalam pengelolaan sumber daya
alam, ternyata tidak semata urusan ekonomi bisnis, tapi juga kerap
mengandung masalah politik yang kental. Semakin besar nilai ekonomi dari
suatu kegiatan pengelolaan SDA yang dipersoalkan, kian besar pula bobot
politik yang bisa muncul.
Kehebohan
seputar keberadaan raksasa tambang Freeport di Papua dan Newmont di
Nusa Tengara Barat belakangan ini merupakan beberapa contoh bagaimana
eksistensi investasi asing dalam pengelolaan SDA justru paling kerap
memicu gonjang-ganjing politik. Manakala isu ekonomi politik ini tak
dikelola bijak di tengah iklim keterbukaan, persoalannya tentu bisa
ruwet.
Sejarah Modal Asing
Dalam
sejarahnya, keberadaan modal asing di Indonesia memang selalu
memunculkan kontroversi. Pada tahun 1950-an dan awal 1960-an, dominasi
asing (sebagai warisan sistem ekonomi kolonial) dalam kegiatan ekonomi
di Indonesia pernah digugat hingga keluar kebijakan bercorak
nasionalistik, sekalipun hasilnya masih jauh dari harapan. (Muhaimin,
1991).
Pada
masa Orde Baru, isu dominasi asing atas perekonomian nasional kembali
muncul. Di Jakarta bahkan pecah kerusuhan Malari 1974 yang isunya
terkait modal asing, khususnya Jepang. Namun secara umum, tekanan
politis atas isu dominasi modal asing, termasuk dalam pengelolaan SDA
migas, emas, dan tembaga, bisa dikendalikan. (Masoed, 1989).
Dalam konteks itulah mengapa operasi banyak perusahaan asing relatif terhindar dari gangguan politik maupun keamanan saat itu. Namun
dalam sistem otoriter itu pula justru ditenggarai terjadi “kolusi” elit
domestik dengan pemodal besar, termasuk asing, dalam pelbagai
eksploitasi SDA di Indonesia.
Ketika
datang era reformasi, liberalisasi ekonomi justru seiring keterbukaan
politik. Suasana eforia politik, termasuk kebijakan otonomi daerah,
membuat implementasi pelbagai kebijakan ekonomi liberal menjadi riuh
rendah. Jangankan isu modal asing, dominasi pemerintah pusat dan elit
bisnis domestik dalam penguasaan SDA saja dipertanyakan kembali.
Politisasi atas keberadaan investasi asing tak hanya bergaung di pusat tapi juga menyeruak ke daerah. Di
pusat, isu modal asing tak hanya “santapan” kalangan aktivis
anti-liberalisasi ekonomi, tapi juga kelompok oposisi untuk
mendelegitimasi (kebijakan) pemerintah yang dianggap melanggar UUD 1945,
khususnya Pasal 33.
Hanya
masalahnya, pro-kontra terkait isu dominasi modal asing dalam ekonomi
nasional, termasuk pengelolaan SDA, sering tak mewakili pertentangan
idiologis yang sesungguhnya, sebutlah antara pendukung “ekonomi liberal”
dan “ekonomi nasional”. Di ranah politik praktis, politisasi modal
asing, khususnya terkait pengelolaan SDA, justru sering refleksi konflik
kepentingan antarelit politik dan ekonomi itu sendiri.
Bias
perburuan rente dan dukungan politik itulah yang tergambar misalnya
dalam kasus pro-kontra atas keinginan Cemex Meksiko, yang justru
didukung Pemerintah RI, menjadi pemegang saham mayoritas di Semen Gresik
tahun 1999. Di balik resistensi maupun dukungan atas rencana
“privatisasi lanjutan” BUMN semen itu justru terindikasi muatan
kepentingan elit ekonomi dan politik tertentu di pusat dan daerah.
(Iskandar, 2007).
Gugatan atas keberadaan Freeport di
Papua juga tak sepenuhnya mencerminkan keinginan menyelesaikan ganjalan
“ekonomi politik” secara wajar. Di negeri ini, banyak orang menggugat
eksistensi Freeport yang dianggap merugikan Indonesia, tapi umumnya
mereka tak banyak peduli pada dampak riilnya bagi warga Papua. Freeport
sendiri juga telah mengklaim telah menambah royalti kepada Pemerintah,
tapi di sisi lain mayoritas rakyat Papua tetap miskin dan terkebelakang.
Seharusnya gugatan terkait isu dominasi asing dalam perekonomian Indonesia tak
semata didasarkan pada klaim konstitusionalitas, tapi harus sungguh
berorientasi pada kepentingan riil masyarakat, khususnya masyarakat
lokal. Ketika eksploitasi SDA berlangsung tanpa kendali, seperti di
Papua, komunitas lokallah yang kelak paling merasakan dampak buruknya
untuk jangka menengah dan panjang.
Dalam
jangka pendek, sebagian kecil warga lokal mungkin dilibatkan dalam
pekerjaan eksploitasi SDA di daerahnya, tapi dalam jangka menengah dan
panjang, komunitas lokal dan keturunannya jelas akan menderita, karena
tanah ulayat mereka telah rusak dan kekayaan di dalamnya telah dikuras
habis para pemodal yang ditopang kekuasaan politik. (Pernah dimuat di Harian KONTAN, 29 November 2011)
Posting Komentar