Mohon Maaf Atas Ketidak Nyamanan Anda Dalam Mengakses Sebagian Link, Karena Masih Dalam Perbaikan
Home » » Modal Asing, Pemerintah dan Masyarakat

Modal Asing, Pemerintah dan Masyarakat

Written By andalas journal of history on Kamis, 01 Maret 2012 | 02.36

Oleh: Israr Iskandar, menulis buku tentang sejarah modal asing.
 
            Keberadaan investasi asing di Indonesia, khususnya dalam pengelolaan sumber daya alam, ternyata tidak semata urusan ekonomi bisnis, tapi juga kerap mengandung masalah politik yang kental. Semakin besar nilai ekonomi dari suatu kegiatan pengelolaan SDA yang dipersoalkan, kian besar pula bobot politik yang bisa muncul.
            Kehebohan seputar keberadaan raksasa tambang Freeport di Papua dan Newmont di Nusa Tengara Barat belakangan ini merupakan beberapa contoh bagaimana eksistensi investasi asing dalam pengelolaan SDA justru paling kerap memicu gonjang-ganjing politik. Manakala isu ekonomi politik ini tak dikelola bijak di tengah iklim keterbukaan, persoalannya tentu bisa ruwet.
 
Sejarah Modal Asing
            Dalam sejarahnya, keberadaan modal asing di Indonesia memang selalu memunculkan kontroversi. Pada tahun 1950-an dan awal 1960-an, dominasi asing (sebagai warisan sistem ekonomi kolonial) dalam kegiatan ekonomi di Indonesia pernah digugat hingga keluar kebijakan bercorak nasionalistik, sekalipun hasilnya masih jauh dari harapan. (Muhaimin, 1991).
            Pada masa Orde Baru, isu dominasi asing atas perekonomian nasional kembali muncul. Di Jakarta bahkan pecah kerusuhan Malari 1974 yang isunya terkait modal asing, khususnya Jepang. Namun secara umum, tekanan politis atas isu dominasi modal asing, termasuk dalam pengelolaan SDA migas, emas, dan tembaga, bisa dikendalikan. (Masoed, 1989).
            Dalam konteks itulah mengapa operasi banyak perusahaan asing relatif terhindar dari gangguan politik maupun keamanan saat itu.  Namun dalam sistem otoriter itu pula justru ditenggarai terjadi “kolusi” elit domestik dengan pemodal besar, termasuk asing, dalam pelbagai eksploitasi SDA di Indonesia.
            Ketika datang era reformasi, liberalisasi ekonomi justru seiring keterbukaan politik. Suasana eforia politik, termasuk kebijakan otonomi daerah, membuat implementasi pelbagai kebijakan ekonomi liberal menjadi riuh rendah. Jangankan isu modal asing, dominasi pemerintah pusat dan elit bisnis domestik dalam penguasaan SDA saja dipertanyakan kembali.
            Politisasi atas keberadaan investasi asing tak hanya bergaung di pusat tapi juga menyeruak ke daerah.  Di pusat, isu modal asing tak hanya “santapan” kalangan aktivis anti-liberalisasi ekonomi, tapi juga kelompok oposisi untuk mendelegitimasi (kebijakan) pemerintah yang dianggap melanggar UUD 1945, khususnya Pasal 33.
            Hanya masalahnya, pro-kontra terkait isu dominasi modal asing dalam ekonomi nasional, termasuk pengelolaan SDA, sering tak mewakili pertentangan idiologis yang sesungguhnya, sebutlah antara pendukung “ekonomi liberal” dan “ekonomi nasional”. Di ranah politik praktis, politisasi modal asing, khususnya terkait pengelolaan SDA, justru sering refleksi konflik kepentingan antarelit politik dan ekonomi itu sendiri.
            Bias perburuan rente dan dukungan politik itulah yang tergambar misalnya dalam kasus pro-kontra atas keinginan Cemex Meksiko, yang justru didukung Pemerintah RI, menjadi pemegang saham mayoritas di Semen Gresik tahun 1999. Di balik resistensi maupun dukungan atas rencana “privatisasi lanjutan” BUMN semen itu justru terindikasi muatan kepentingan elit ekonomi dan politik tertentu di pusat dan daerah. (Iskandar, 2007).
            Gugatan atas keberadaan Freeport  di Papua juga tak sepenuhnya mencerminkan keinginan menyelesaikan ganjalan “ekonomi politik” secara wajar. Di negeri ini, banyak orang menggugat eksistensi Freeport yang dianggap merugikan Indonesia, tapi umumnya mereka tak banyak peduli pada dampak riilnya bagi warga Papua. Freeport sendiri juga telah mengklaim telah menambah royalti kepada Pemerintah, tapi di sisi lain mayoritas rakyat Papua tetap miskin dan terkebelakang.
            Seharusnya gugatan terkait isu dominasi asing dalam perekonomian Indonesia  tak semata didasarkan pada klaim konstitusionalitas, tapi harus sungguh berorientasi pada kepentingan riil masyarakat, khususnya masyarakat lokal. Ketika eksploitasi SDA berlangsung tanpa kendali, seperti di Papua, komunitas lokallah yang kelak paling merasakan dampak buruknya untuk jangka menengah dan panjang.
             Dalam jangka pendek, sebagian kecil warga lokal mungkin dilibatkan dalam pekerjaan eksploitasi SDA di daerahnya, tapi dalam jangka menengah dan panjang, komunitas lokal dan keturunannya jelas akan menderita, karena tanah ulayat mereka telah rusak dan kekayaan di dalamnya telah dikuras habis para pemodal yang ditopang kekuasaan politik. (Pernah dimuat di Harian KONTAN, 29 November 2011)
 
Share this article :

Posting Komentar