Mohon Maaf Atas Ketidak Nyamanan Anda Dalam Mengakses Sebagian Link, Karena Masih Dalam Perbaikan
Home » » Kebijakan Liberal dan Tata Kelola Pemerintahan

Kebijakan Liberal dan Tata Kelola Pemerintahan

Written By andalas journal of history on Kamis, 01 Maret 2012 | 02.35

Oleh: Israr Iskandar, dosen sejarah politik Universitas Andalas
 
             Sejumlah kebijakan bercorak liberal di era reformasi tak selalu berjalan mulus. Tak jarang kebijakan pemerintah itu melahirkan pelbagai bentuk distorsi dan anomali. Alih-alih untuk kepentingan rakyat dan negara, kebijakan bercorak liberal justru dinilai kian menyengsarakan rakyat dan merugikan kepentingan negara.
            Munculnya distorsi dan anomali kebijakan karena buruknya tata kelola pemerintahan yang melaksanakan kebijakan tersebut. Pemerintahan tanpa tata kelola yang baik, selain tak memiliki kapasitas memadai menjalankan kebijakan apapun, tapi biasanya juga lamban mengantisipasi pelbagai dampak perubahan dan munculnya masalah baru akibat lanjut dari suatu kebijakan.
               Contohnya kebijakan impor produk pertanian dan kelautan. Apapun alasannya, langkah pragmatis membuka keran impor produk pertanian dan kelautan terbukti kontraproduktif  bagi ketahanan ekonomi masyarakat kita, karena di sisi lain pemerintah tak pernah serius meningkatkan produk pertanian dan kelautan domestik. Tak heran, gempuran produk impor pertanian dan kelautan membuat kian terpuruknya produk pertanian dan kelautan dalam negeri.
  Di bidang investasi juga begitu. Pemerintah tak memagari kebijakan di bidang penanaman modal dengan regulasi komprehensif dan sistem pengawasan memadai. Kebijakan investasi di bidang pertambangan dan perkebunan, misalnya, sering memunculkan konflik di lapangan, seperti terjadi di Mesuji, karena pemerintah tak menyiapkan secara komprehensif regulasi di bidang agraria, investasi dan lainnya.
  Dalam konteks pengelolaan SDA juga kelihatan ketidaksiapan pemerintah dalam penyusunan dan pelaksanaan regulasi. Regulasi yang terbatas pun tak dilaksanakan secara konsisten dan akuntabel. Munculnya konflik pengelolaan SDA, seperti kasus Freeport dan Newmont, terutama karena inkonsistensi dan ketidaktegasan pemerintah menerapkan aturan yang ada. Celakanya, saat muncul konflik, pemerintah terkesan lebih berpihak pada pemodal dibandingkan masyarakat dan pekerja.
      Distorsi yang terjadi dalam implementasi kebijakan di bidang keuangan atau privatisasi BUMN  tak terkait langsung kelemahan regulasi, tapi lebih karena buruknya tata kelola pemerintahan yang melaksanakan kebijakan. Munculnya tudingan korupsi di balik kebijakan bail-out Bank Century atau adanya hanky pangky (perselingkuhan) dalam proses privatisasi sejumlah BUMN merupakan dampak absennya tata kelola pemerintahan yang baik, terutama dalam pengawasannya.
              Pemerintahan dengan tata kelola yang baik biasanya paralel dengan pemerintahan visioner. Sayangnya, kewenangan pemerintah pusat dan daerah belum sejalan dengan kapasitas antisipatifnya terhadap potensi munculnya dampak lanjut dari suatu kebijakan atau dinamika perkembangan yang ada. Pemerintah bahkan sering terlambat mengantisipasi dampak lanjutan dari kebijakannya sendiri sehingga menambah ruwet persoalan.
              Ambil contoh kebijakan perdagangan otomotif  dan bisnis transportasi udara yang kini tumbuh pesat, tapi tak sinkron dengan ketersediaan infrastruktur dan aturan terkait kepentingan publik.  Begitu pun dampak kebijakan sektor industri dan infrastruktur justru kian menyusutkan jumlah lahan pertanian produktif, terutama di Jawa. Di perkotaan, pertumbuhan pesat properti  dan pasar modern juga tak paralel dengan daya dukung lahan. Bahkan dalam konteks ekspansi pasar modern justru membunuh secara sistemik pasar-pasar tradisional kita.
                Kebijakan rezim reformasi yang mengalami distorsi sehingga menjauh dari tujuannya juga terjadi pada bidang sosial budaya. Kebijakan bercorak liberal-kapitalistik di bidang pendidikan dan kesehatan, misalnya, justru menyebabkan kian mahalnya biaya pendidikan dan kesehatan, sementara di sisi lain pemerintah tidak menyiapkan secara memadai langkah-langkah keberpihakan dan pemberdayaan nyata bagi masyarakat golongan menengah ke bawah.
             Sejak awal, kebijakan-kebijakan bercorak liberal-kapitalistik ini dianggap tak sesuai jiwa konstitusi negara, UUD 1945.  Namun terlepas dari perdebatan idiologis yang ada, jauh lebih penting sesungguhnya adalah bagaimana memperbaiki tata kelola pemerintahan itu sendiri, baik di pusat maupun daerah. Kebijakan  liberal atau bukan, jika tak didukung suatu tata kelola pemerintahan yang baik, hasilnya pasti kontraproduktif bagi kepentingan rakyat dan negara. (Pernah dimuat di Harian KONTAN, 27 Desember 2011).
           
 

Share this article :

Posting Komentar