Oleh: Israr Iskandar, dosen sejarah politik Universitas Andalas
Sejumlah
kebijakan bercorak liberal di era reformasi tak selalu berjalan mulus.
Tak jarang kebijakan pemerintah itu melahirkan pelbagai bentuk distorsi
dan anomali. Alih-alih untuk kepentingan rakyat dan negara, kebijakan
bercorak liberal justru dinilai kian menyengsarakan rakyat dan merugikan
kepentingan negara.
Munculnya
distorsi dan anomali kebijakan karena buruknya tata kelola pemerintahan
yang melaksanakan kebijakan tersebut. Pemerintahan tanpa tata kelola
yang baik, selain tak memiliki kapasitas memadai menjalankan kebijakan
apapun, tapi biasanya juga lamban mengantisipasi pelbagai dampak
perubahan dan munculnya masalah baru akibat lanjut dari suatu kebijakan.
Contohnya
kebijakan impor produk pertanian dan kelautan. Apapun alasannya,
langkah pragmatis membuka keran impor produk pertanian dan kelautan
terbukti kontraproduktif bagi ketahanan ekonomi
masyarakat kita, karena di sisi lain pemerintah tak pernah serius
meningkatkan produk pertanian dan kelautan domestik. Tak heran, gempuran
produk impor pertanian dan kelautan membuat kian terpuruknya produk
pertanian dan kelautan dalam negeri.
Di
bidang investasi juga begitu. Pemerintah tak memagari kebijakan di
bidang penanaman modal dengan regulasi komprehensif dan sistem
pengawasan memadai. Kebijakan investasi di bidang pertambangan dan
perkebunan, misalnya, sering memunculkan konflik di lapangan, seperti
terjadi di Mesuji, karena pemerintah tak menyiapkan secara komprehensif
regulasi di bidang agraria, investasi dan lainnya.
Dalam
konteks pengelolaan SDA juga kelihatan ketidaksiapan pemerintah dalam
penyusunan dan pelaksanaan regulasi. Regulasi yang terbatas pun tak
dilaksanakan secara konsisten dan akuntabel. Munculnya konflik
pengelolaan SDA, seperti kasus Freeport dan Newmont, terutama karena
inkonsistensi dan ketidaktegasan pemerintah menerapkan aturan yang ada.
Celakanya, saat muncul konflik, pemerintah terkesan lebih berpihak pada
pemodal dibandingkan masyarakat dan pekerja.
Distorsi yang terjadi dalam implementasi kebijakan di bidang keuangan atau privatisasi BUMN tak
terkait langsung kelemahan regulasi, tapi lebih karena buruknya tata
kelola pemerintahan yang melaksanakan kebijakan. Munculnya tudingan
korupsi di balik kebijakan bail-out Bank Century atau adanya hanky pangky
(perselingkuhan) dalam proses privatisasi sejumlah BUMN merupakan
dampak absennya tata kelola pemerintahan yang baik, terutama dalam
pengawasannya.
Pemerintahan
dengan tata kelola yang baik biasanya paralel dengan pemerintahan
visioner. Sayangnya, kewenangan pemerintah pusat dan daerah belum
sejalan dengan kapasitas antisipatifnya terhadap potensi munculnya
dampak lanjut dari suatu kebijakan atau dinamika perkembangan yang ada.
Pemerintah bahkan sering terlambat mengantisipasi dampak lanjutan dari
kebijakannya sendiri sehingga menambah ruwet persoalan.
Ambil contoh kebijakan perdagangan otomotif dan
bisnis transportasi udara yang kini tumbuh pesat, tapi tak sinkron
dengan ketersediaan infrastruktur dan aturan terkait kepentingan publik. Begitu
pun dampak kebijakan sektor industri dan infrastruktur justru kian
menyusutkan jumlah lahan pertanian produktif, terutama di Jawa. Di
perkotaan, pertumbuhan pesat properti dan pasar
modern juga tak paralel dengan daya dukung lahan. Bahkan dalam konteks
ekspansi pasar modern justru membunuh secara sistemik pasar-pasar
tradisional
kita.
Kebijakan
rezim reformasi yang mengalami distorsi sehingga menjauh dari tujuannya
juga terjadi pada bidang sosial budaya. Kebijakan bercorak
liberal-kapitalistik di bidang pendidikan dan kesehatan, misalnya,
justru menyebabkan kian mahalnya biaya pendidikan dan kesehatan,
sementara di sisi lain pemerintah tidak menyiapkan secara memadai
langkah-langkah keberpihakan dan pemberdayaan nyata bagi masyarakat
golongan menengah ke bawah.
Sejak awal, kebijakan-kebijakan bercorak liberal-kapitalistik ini dianggap tak sesuai jiwa konstitusi negara, UUD 1945. Namun
terlepas dari perdebatan idiologis yang ada, jauh lebih penting
sesungguhnya adalah bagaimana memperbaiki tata kelola pemerintahan itu
sendiri, baik di pusat maupun daerah. Kebijakan liberal
atau bukan, jika tak didukung suatu tata kelola pemerintahan yang baik,
hasilnya pasti kontraproduktif bagi kepentingan rakyat dan negara. (Pernah dimuat di Harian KONTAN, 27 Desember
2011).
Posting Komentar