Mohon Maaf Atas Ketidak Nyamanan Anda Dalam Mengakses Sebagian Link, Karena Masih Dalam Perbaikan
Home » » Islam, Demokrasi dan Antikorupsi

Islam, Demokrasi dan Antikorupsi

Written By andalas journal of history on Kamis, 01 Maret 2012 | 02.33

Oleh: Israr Iskandar, pengajar pada Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas
 
Apakah demokrasi sungguh telah menjadi sistem politik dan sistem sosial ideal yang bisa mewujudkan cita-cita negara dan kebahagiaan maksimal suatu masyarakat?  
 
               Sebagai warga negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia, pertanyaan seperti ini tetap mengusik pikiran maupun perasaan. Selama ini sejumlah ahli memang menilai adanya kesesuaian antara Islam dan demokrasi dengan menunjukkan pelaksanaan demokrasi di Indonesia pasca-Orde Baru sebagai buktinya, namun melihat realitas kehidupan kebangsaan dan kenegaraan saat ini terasa masih jauh dari memuaskan.
          Tentu saja demokrasi di negeri ini masih berproses. Tingkat kemapanannya, baik secara institusional, prosedural dan apalagi kultural, masih rendah bahkan rentan. Pejabat publik di perlbagi tingkatan, misalnya, secara umum memang sudah merupakan hasil pilihan demokratis, namun dari kecenderungan yang ada, masih mungkin akan terjadi  pelbagai bentuk distorsi bahkan anomali yang dapat mengecewakan rakyat dan bahkan aktor-aktor demokrasi itu sendiri.
             Lagipula, Indonesia hanyalah salah satu “titik” saja dari beberapa “titik” Islam penting di dunia. Baru-baru ini saja Indonesia dilirik dan diperhitungkan sebagai negeri demokrasi muslim potensial bagi peradaban dunia,  tapi secara umum, proses politik yang terjadi dan dialami Indonesia dewasa ini belum bisa merepresentasikan “demokrasi Muslim” pada umumnya.
         Sejumlah negara muslim di Timur Tengah dewasa ini memang sedang mengarah pada demokrasi, sekalipun masih sangat awal. Rejim-rejim otoriter satu per satu tumbang oleh kekuatan rakyat dan tentu saja juga intervensi nyata (kepentingan) negara-negara Barat.             Namun demikian, demokratisasi di dunia Arab, seperti kita saksikan dewasa ini, masih pada tahap awal nan krusial. Masih banyak duri dan onak yang mesti dilalui, apalagi setelah terbiasa dengan sistem otoriter selama berabad-abad.
                 Biasanya, aspirasi dan harapan rakyat pada pemerintahan baru begitu tinggi, sementara kapasitas dan kompetensi elitnya tidak memadai mewujudkan kehendak luas masyarakat.  Fragmentasi sosial,  yang sebagian akibat warisan sejarah, juga menjadi kendala utama konsolidasi politik (demokrasi?) di Timur Tengah. Proses transisi ke demokrasi merupakan ujian terberat negara-negara pasca-oteriterianisme panjang, termasuk di negara-negara muslim.
            Merujuk ke Indonesia, salah satu ganjalan krusial di negeri demokrasi muslim terbesar ini sekarang justru adalah korupsi. Korupsi telah menjadi semacam “budaya” di pemerintahan, lembaga-lembaga demokrasi maupun masyarakat. Berbagai upaya memang sudah dilakukan, termasuk mengadopsi sistem antikorupsi dari negara lebih maju dengan  (misalnya) membentuk Komisi Pemberantasan Korupsi, tapi tingkat kebocoran anggaran negara terus membesar. Alhasil, upaya mewujudkan kesejahteraan rakyat dan penguatan kapasitas negara, sebagai cita-cita pendirian republik, menjadi sulit sekali.
        Tentu saja terkait masalah ini patut dimunculkan kembali pertanyaan krusial: apakah Islam (sebagai agama mayoritas orang Indonesia) sesuai dengan antikorupsi? Secara spontan kita tentu akan menjawab bahwa Islam, dan juga agama-agama lain, sangat mendukung antikorupsi sebagai bentuk penyimpangan kekuasaan dan wewenang yang merugikan kepentingan umum dan negara. Banyak ayat dalam Kitab Suci Al Quran maupun hadith Nabi Muhammad SAW yang melarang orang melakukan suap dan semacamnya serta melanggar norma lainnya.
         Persoalan bertambah ruwet,  karena kenyataan bahwa mayoritas negara-negara Muslim, baik otoriter maupun demokrasi, hingga kini masih bergelimang korupsi akut, baik di belahan Asia, Afrika maupun Timur Tengah. Tentu saja penulis tak bermaksud menggeneralisir fakta yang ada, karena di pihak lain, negara-negara non-muslim, baik demokrasi, otoriter maupun totaliter, juga masih banyak bergelimang korupsi akut yang memiskinkan rakyatnya dan memperlemah kapasitas pemerintahnya mengatasi berbagai masalah yang terkait tugas dan fungsinya.
            Masalahnya adalah bagaimana supaya ajaran-ajaran Islam yang luhur dan diaku mayoritas warga negara ini benar-benar tercermin dalam praktik pemerintahan dan kehidupan masyarakat. Bukan malah sebaliknya. Hanya dengan begitu, ajaran Islam bisa fungsional dalam arti dapat membahagiakan penganutnya di dunia dan akhirat serta menjadi berkah bagi sekalian alam. Selama ini ada kesan, agama hanya dilihat sebagai urusan akhirat terpisah dengan urusan (memperbaiki) dunia.
              Lihatlah setiap tahun umat Islam yang mendatangi Tanah Suci dan orang-orang yang berkurban di hari raya Idhul Adha di Indonesia terus bertambah jumlahnya, tapi di sisi lain korupsi  elit pemimpin, aparat negara dan bahkan permisivisme di masyarakat terus merebak. Indikasi lain melebarnya jurang kaya dan miskin. Di negeri ini, orang-orang kaya baru memang bertambah jumlahnya tapi (sebagian) mereka terkesan hedonis minus empati dan sensitifitas atas kelompok-kelompok marginal.
            Apakah situasi ruwet dan mungkin tidak membahagiakan ini semata urusan politik yang terpisah dari agama ataukah hal ini juga refleksi sikap keberagamaan masyarakat dan pemimpinnya yang masih harus dibenahi secara fundamental?
              Sekalipun diyakini masalahnya bukan pada doktrin agama, termasuk Islam, tapi gejala ini jelas harus menjadi pekerjaan rumah bersama, mulai dari agamawan (dari pelbagai agama), cendekiawan, pemimpin sosial, hingga pemimpin politik itu sendiri. Sayang, upaya yang dilakukan masih parsial. Perhatian kelompok-kelompok pembaru (tafsiran) Islam, seperti Jaringan Islam Liberal, misalnya, justru lebih terarah pada upaya “mendelegitimasi” kelompok-kelompok fundamentalis dibandingkan sistem korup yang terbukti memiskinkan umat dan warga bangsa.
              Pada akhirnya, kita tentu tak ingin ada hasil survei yang memiriskan hati yang mengungkapkan (sekalipun banyak orang meragukan motivasi, metodologi dan hasilnya) bahwa masyarakat negara maju dan non-muslim relatif lebih Islami dibandingkan masyarakat di negara-negara Muslim sendiri, seperti tercermin dari korupsi, kekerasan, hedonisme elit dan pelbagai penyimpangan perilaku sosial lainnya. Wallahu’alam. (Pernah dimuat di HALUAN, 28 Nopember 2011)
             
Share this article :

Posting Komentar