Oleh
Ari Febrianto
Dipublikasikan di Harian Padang Ekspres, edisi 1 Juni 2011.
Garuda Lambang Indonesia |
Indonesia
yang dikenal dengan kemajemukan dan pluralismenya memang sesuatu yang dapat
menjadi pemersatu, tetapi disisi lain dapat juga sekali-kali menjadi katarak
seperti air sungai dalam perjalanannya dan diskontuinitas akibat perbedaan
nilai-nilai, ideologi, etnik dan kepentingan golongan. Pancasila sebagai dasar
negara diharapkan menjadi pembendung dari pergolakan-pergolakan ini.
Kata “pluralis” berasal dari bahasa Latin
“plures” yang berarti “beberapa”
dengan implikasi perbedaan. Pluralisme
adalah filosofis yang tidak mau mereduksi segala sesuatu pada satu prinsip
terakhir, tetapi menerima adanya keragaman. Pluralisme meliputi bidang kultural,
politik, dan agama.
Masyarakat
Indonesia dalam kedinamisannya memerlukan suatu sistem sosial yang merangkum
keseluruhan sektor kehidupan sosial budaya bangsa yang dinamis itu. Berbagai
sistem sosial yang berkembang sebagai bentuk dari perwujudan kebudayaan
nasional sudah mengalami perkembangan atas dasar Pancasila, sebagai suatu
sistem idea yang dapat menyeragamkan.
Sebenarnya
dalam Pancasila sudah memberikan keseluruhan sistem nilai yang dibutuhkan untuk
dapat memberikan solusi dari permasalahan yang muncul belakangan ini, jika
sedikit mau melihat dan menghayati makna Pancasila, di dalamnya memiliki
kandungan nilai yang kompleks yang berlabuh pada kesatuan, seperti yang telah
dideklarasikan oleh Djuanda (1957).
Bagaimana
tidak, dalam sila pertama “Ketuhanan Yang Maha Esa” mencerminkan keseragaman
kemajemukan ideologi bangsa disatukan. “Kemanusiaan yang Adil dan Beradab”,
mengajarkan bahwa setiap orang harus menjalin keakraban dan saling harga
menghargai antara sesama, walaupun berbeda. “Persatuan Indonesia”, jelas
menghendaki adanya kesatuan diantara keberagaman yang ada. “Kerakyatan yang Dipimpin
oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan/Perwakilan”, mengajarkan
keadilan dan mengutamakan musyawarah dalam mengambil keputusan. Terakhir adalah
“Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia”, memberikan keadilan bagi
segenap rakyat yang multietnik.
Namun,
kenyataannya sekarang Pancasila sudah tidak dijadikan acuan lagi dalam mencari solusi
dari problem kompleks yang terjadi
belakangan ini di sekitar kita. Bagaimana seorang muslim tega mencelakai
sesamanya dengan meledakkan bom di masjid, wakil rakyat yang dengan santai
menggunakan uang rakyat untuk kepentingan pribadi (korup), dan yang paling
mencoreng nilai luhur Pancasila adalah kehadiran dan berkembangnya Negara Islam
Indonesia (NII), sebagai makar dari Pancasila dan Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI).
Semua
yang terjadi sekarang tidak bisa dilepaskan dari fenomena peralihan masyarakat
yang senantiasa berubah, demikian juga masyarakat Indonesia. Akibat kontak
dengan kebudayaan asing yang dipermudah dengan kemajuan teknologi pada
akhir-akhir ini, serta berkaitan dengan penyetaraan pembangunan yang hakekatnya
usaha peningkatan kesejahteraan di segala bidang.
Perubahan
dan peralihan dalam sejarah sebenarnya sudah dimulai dari awal abad 19. Setelah
adanya Industrialisasi Eropa (Barat) oleh kapitalisme modern, Indonesia turut
hanyut dalam buayan perkembangan itu dengan menjadi big market dari produk Barat. Di tambah lagi proses akulturasi yang
mudah, masyarakat Indonesia lebih cenderung mencontek semua kebudayaan yang
masuk tanpa memikirkan apakah kebudayaan itu sesuai dengan kebudayaan dan
memberikan pengaruh baik terhadap perkembangan masyarakat sekitarnya.
Hampir
tidak mungkin seseorang dimasa sekarang untuk menghindari pergaulan antar
negara dan lintas budaya. Peralatan teknologi dan informasi yang kian canggih
mempermudah hal ini terjadi, peralihan dalam masyarakat semakin santer
sedangkan nilai-nilai, gagasan utama (ide vital) yang bersifat nasional belum
sepenuhnya dihayati oleh setiap warga bangsa.
Cara
efisien untuk mengatasi hal ini untuk tidak tetap berlanjut, salah satunya
dengan cara membina kebudayaan nasional dan kembali memberikan nilai-nilai luhur
Pancasila dan “Kebhinneka Tunggal Ikaan” menjadi landasan utama dalam
memberikan perlawanan terhadap semua permasalahan bangsa dewasa ini.
Membina
kebudayaan sejatinya adalah membina
manusianya, karena suatu kebudayaan adalah hasil karsa dari manusia itu sendiri
dalam rangka membangun manusia Indonesia yang seutuhnya, yang berarti membina
manusia agar dapat menghayati kerangka acuan bagi setiap sikap dan pola tingkah
lakunya dalam proses adaptasi dengan lingkungannya. Setiap warga bangsa harus
mampu bukan sekedar meniru dan bertindak berdasarkan pola-pola interaksi sosial
yang ada, melainkan harus mampu menghayati nilai-nilai, gagasan dan keyakinan
yang ada di balik pola-pola sikap dan tingkah laku tersebut. Dengan demikian
setiap orang akan senantiasa dapat dengan aktif beradaptasi dengan lingkungan
disertai kemampuan mengembangkan karsa (activities)
ke arah pambaharuan (innovatif) dalam
menghadapi tantangan hidup (Pidato Pengarahan, 29 Mei 1983).
Untuk
maksud tersebut dibutuhkan juga pembinaan atau pembelajaran terus menerus
sepanjang hidup yang disebut sebagai proses enkulturasi. Enkulturasi dapat juga
diartikan sebagai bentuk pembelajaran dengan tujuan untuk memberikan pemahaman
nilai dasar, agar setiap warga bangsa mampu beradaptasi dalam lingkungan
sosialnya dan mampu menjalani hidup dengan status yang disandangnya.
Jadi,
seorang presiden akan menjalani tugas dan kewajibannya sebagai orang yang
bertanggung jawab terhadap kesejahteraan rakyat, wakil rakyat akan mampu
memberikan contoh yang baik kepada rakyat dengan berbuat dan bertingkah laku
selayaknya wakil rakyat yang tercermin dengan memikirkan rakyatnya, dan rakyat
menjalani hidupnya sebagai masyarakat umum yang mematuhi peraturan, sehingga semua
akan berjalan pada rel dan rodanya masing-masing, Indonesia sejahtera dan damai
tidak mustahil dicapai dengan realita seperti ini.
Penulis adalah
Koordinator Penulisan
UKJ Yasmin
Akbar (Unit Kegiatan Jurnalistik)
Fak. Sastra
Universitas Andalas Padang
Posting Komentar