Mohon Maaf Atas Ketidak Nyamanan Anda Dalam Mengakses Sebagian Link, Karena Masih Dalam Perbaikan
Home » » PANCASILA DAN MASYARAKAT PLURAL

PANCASILA DAN MASYARAKAT PLURAL

Written By andalas journal of history on Minggu, 18 Maret 2012 | 05.26


Oleh
Ari Febrianto

Dipublikasikan di Harian Padang Ekspres, edisi 1 Juni 2011.

Garuda Lambang Indonesia
            Indonesia yang dikenal dengan kemajemukan dan pluralismenya memang sesuatu yang dapat menjadi pemersatu, tetapi disisi lain dapat juga sekali-kali menjadi katarak seperti air sungai dalam perjalanannya dan diskontuinitas akibat perbedaan nilai-nilai, ideologi, etnik dan kepentingan golongan. Pancasila sebagai dasar negara diharapkan menjadi pembendung dari pergolakan-pergolakan ini.
            Kata “pluralis” berasal dari bahasa Latin “plures” yang berarti “beberapa” dengan implikasi perbedaan. Pluralisme adalah filosofis yang tidak mau mereduksi segala sesuatu pada satu prinsip terakhir, tetapi menerima adanya keragaman. Pluralisme meliputi bidang kultural, politik, dan agama.
            Masyarakat Indonesia dalam kedinamisannya memerlukan suatu sistem sosial yang merangkum keseluruhan sektor kehidupan sosial budaya bangsa yang dinamis itu. Berbagai sistem sosial yang berkembang sebagai bentuk dari perwujudan kebudayaan nasional sudah mengalami perkembangan atas dasar Pancasila, sebagai suatu sistem idea yang dapat menyeragamkan.
            Sebenarnya dalam Pancasila sudah memberikan keseluruhan sistem nilai yang dibutuhkan untuk dapat memberikan solusi dari permasalahan yang muncul belakangan ini, jika sedikit mau melihat dan menghayati makna Pancasila, di dalamnya memiliki kandungan nilai yang kompleks yang berlabuh pada kesatuan, seperti yang telah dideklarasikan oleh Djuanda (1957).
            Bagaimana tidak, dalam sila pertama “Ketuhanan Yang Maha Esa” mencerminkan keseragaman kemajemukan ideologi bangsa disatukan. “Kemanusiaan yang Adil dan Beradab”, mengajarkan bahwa setiap orang harus menjalin keakraban dan saling harga menghargai antara sesama, walaupun berbeda. “Persatuan Indonesia”, jelas menghendaki adanya kesatuan diantara keberagaman yang ada. “Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan/Perwakilan”, mengajarkan keadilan dan mengutamakan musyawarah dalam mengambil keputusan. Terakhir adalah “Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia”, memberikan keadilan bagi segenap rakyat yang multietnik.
            Namun, kenyataannya sekarang Pancasila sudah tidak dijadikan acuan lagi dalam mencari solusi dari problem kompleks yang terjadi belakangan ini di sekitar kita. Bagaimana seorang muslim tega mencelakai sesamanya dengan meledakkan bom di masjid, wakil rakyat yang dengan santai menggunakan uang rakyat untuk kepentingan pribadi (korup), dan yang paling mencoreng nilai luhur Pancasila adalah kehadiran dan berkembangnya Negara Islam Indonesia (NII), sebagai makar dari Pancasila dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
            Semua yang terjadi sekarang tidak bisa dilepaskan dari fenomena peralihan masyarakat yang senantiasa berubah, demikian juga masyarakat Indonesia. Akibat kontak dengan kebudayaan asing yang dipermudah dengan kemajuan teknologi pada akhir-akhir ini, serta berkaitan dengan penyetaraan pembangunan yang hakekatnya usaha peningkatan kesejahteraan di segala bidang.
            Perubahan dan peralihan dalam sejarah sebenarnya sudah dimulai dari awal abad 19. Setelah adanya Industrialisasi Eropa (Barat) oleh kapitalisme modern, Indonesia turut hanyut dalam buayan perkembangan itu dengan menjadi big market dari produk Barat. Di tambah lagi proses akulturasi yang mudah, masyarakat Indonesia lebih cenderung mencontek semua kebudayaan yang masuk tanpa memikirkan apakah kebudayaan itu sesuai dengan kebudayaan dan memberikan pengaruh baik terhadap perkembangan masyarakat sekitarnya.
            Hampir tidak mungkin seseorang dimasa sekarang untuk menghindari pergaulan antar negara dan lintas budaya. Peralatan teknologi dan informasi yang kian canggih mempermudah hal ini terjadi, peralihan dalam masyarakat semakin santer sedangkan nilai-nilai, gagasan utama (ide vital) yang bersifat nasional belum sepenuhnya dihayati oleh setiap warga bangsa.
            Cara efisien untuk mengatasi hal ini untuk tidak tetap berlanjut, salah satunya dengan cara membina kebudayaan nasional dan kembali memberikan nilai-nilai luhur Pancasila dan “Kebhinneka Tunggal Ikaan” menjadi landasan utama dalam memberikan perlawanan terhadap semua permasalahan bangsa dewasa ini.
            Membina kebudayaan  sejatinya adalah membina manusianya, karena suatu kebudayaan adalah hasil karsa dari manusia itu sendiri dalam rangka membangun manusia Indonesia yang seutuhnya, yang berarti membina manusia agar dapat menghayati kerangka acuan bagi setiap sikap dan pola tingkah lakunya dalam proses adaptasi dengan lingkungannya. Setiap warga bangsa harus mampu bukan sekedar meniru dan bertindak berdasarkan pola-pola interaksi sosial yang ada, melainkan harus mampu menghayati nilai-nilai, gagasan dan keyakinan yang ada di balik pola-pola sikap dan tingkah laku tersebut. Dengan demikian setiap orang akan senantiasa dapat dengan aktif beradaptasi dengan lingkungan disertai kemampuan mengembangkan karsa (activities) ke arah pambaharuan (innovatif) dalam menghadapi tantangan hidup (Pidato Pengarahan, 29 Mei 1983).
            Untuk maksud tersebut dibutuhkan juga pembinaan atau pembelajaran terus menerus sepanjang hidup yang disebut sebagai proses enkulturasi. Enkulturasi dapat juga diartikan sebagai bentuk pembelajaran dengan tujuan untuk memberikan pemahaman nilai dasar, agar setiap warga bangsa mampu beradaptasi dalam lingkungan sosialnya dan mampu menjalani hidup dengan status yang disandangnya.
            Jadi, seorang presiden akan menjalani tugas dan kewajibannya sebagai orang yang bertanggung jawab terhadap kesejahteraan rakyat, wakil rakyat akan mampu memberikan contoh yang baik kepada rakyat dengan berbuat dan bertingkah laku selayaknya wakil rakyat yang tercermin dengan memikirkan rakyatnya, dan rakyat menjalani hidupnya sebagai masyarakat umum yang mematuhi peraturan, sehingga semua akan berjalan pada rel dan rodanya masing-masing, Indonesia sejahtera dan damai tidak mustahil dicapai dengan realita seperti ini.




Penulis adalah Koordinator Penulisan
UKJ Yasmin Akbar (Unit Kegiatan Jurnalistik)
Fak. Sastra Universitas Andalas Padang
Share this article :

Posting Komentar